At-Tauhid Edisi XV/26
Orang yang meyakini mitos sial dadanya terasa sempit, hatinya lelah, hingga terhalang dari berbagai kebaikan. Islam sebagai agama yang paripurna menghapus seluruh anggapan masyarakat jahiliyah terkait mitos kesialan akibat hal tertentu.
“Apabila seseorang meyakini bahwa mitos kesialan tertentu jika terjadi dapat memberi manfaat atau mendatangkan marabahaya serta ia meyakini akan dampaknya, maka ia telah berbuat kesyirikan karena menganggap suatu mitos sebagai penyebab terjadinya suatu hal.” (Imam An Nawawi)
Memercayai mitos kesialan dapat merupakan syirik akbar maupun ashghar, tergantung keyakinan pelakunya. Padahal, syirik kecil termasuk dosa besar yang dosanya lebih besar dari zina dan membunuh seorang muslim tanpa hak, dan wajib bagi seorang muslim untuk bertaubat darinya.
Agar terhindar dari mempercayai anggapan sial:
1. Bertawakkal kepada Allah
2. Tidak mempedulikan bila melihat sesuatu yang dianggap membawa sial.
3. Menunaikan kaffarah thiyarah. Berdoa, “Allahumma laa khaira illa khairuka, wa laa thiyara illaa thiyaruka, wa laa ilaaha ghairuka” (H.R Ahmad, sahih).
4. Anjuran ber-tafa`ul.
“Barangsiapa yang bertanya tentang hari sial dan sesudahnya maka tidak perlu dijawab, melainkan dengan berpaling,…” (Fatwa Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-3 1347 H).
Sebagian masyarakat kita sangat percaya dengan mitos kesialan yang disebabkan hal-hal tertentu. Misalnya anggapan sial supir setelah menabrak kucing hingga mati, burung gagak yang dipercaya membawa kematian, hingga mitos angka tertentu yang dipercaya membawa sial seperti angka 13. Anda dapat menjumpai betapa hebatnya dampak dari mitos anggapan sial ini dengan melihat gedung-gedung pencakar langit yang dirancang, dihitung dengan software canggih, dan dibangun oleh engineer terkemuka lulusan universitas ternama, namun kenyataannya mereka tidak berani menamai lantai 13 karena anggapan sial, dan mengganti nama lantainya dengan lantai 12A. Allahul Musta’an.
Islam sebagai agama yang paripurna, datang dan menghapus seluruh anggapan masyarakat jahiliyah terkait adanya kesialan. Islam mengajarkan pemeluknya untuk bertawakkal kepada Allah Ta’ala, mengerahkan seluruh daya upaya (sebab) sembari tetap menyandarkan diri pada Allah Ta’ala. Tulisan berikut akan mengupas lebih jauh tentang anggapan sial (thiyarah) menurut pandangan Islam. Semoga Allah mudahkan.
Mengenal thiyarah
Ibn Hajar Al Asqalani As Syafi’i rahimahullah menjelaskan, “Asal usul thiyarah (berasal dari kata ‘tha`ir’ yang artinya burung -pent) yaitu bangsa Arab di masa jahiliah mereka suka berpatokan pada burung. Apabila mereka keluar rumah kemudian melihat burung yang terbang ke arah kanan, mereka menganggapnya sebagai pertanda baik. Namun bila burung itu mengarah ke sisi kiri, dianggapnya pertanda sial dan mereka kembali lagi ke rumah dan tidak jadi pergi. Kemudian datanglah syariat Islam yang melarang hal demikian” (Fathul Bari). Apabila burung tersebut sengaja dilempar untuk mengetahui arah terbangnya, lalu dikaitkan dengan mitos kesialan, maka aktifitas ini disebut dengan tathayyur.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun dengan tegas melarang anggapan sial tersebut dan memasukkannya dalam salah satu jenis kesyirikan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “At thiyarah (anggapan sial) itu perbuatan syirik, at thiyarah itu perbuatan syirik” (H.R Abu Daud, sahih).
Hukum memercayai mitos kesialan
Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Apabila seseorang meyakini bahwa mitos kesialan tertentu jika terjadi, dapat memberi manfaat atau mendatangkan marabahaya serta ia meyakini akan dampaknya, maka ia telah berbuat kesyirikan karena menganggap suatu mitos sebagai penyebab terjadinya suatu hal.” (Syarh Shahih Muslim).
Adapun dari sisi apakah tathayyur termasuk syirik akbar ataukah syirik kecil, penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Apabila ia meyakini bahwa suatu mitos kesialan sebagai penentu bagi terjadinya marabahaya, seperti meyakini bahwa sebuah kecelakaan terjadi murni karena supir telah menabrak kucing hingga mati, tanpa menyandarkan kecelakaan tersebut pada Allah Ta’ala sama sekali, maka ini syirik akbar yang mengeluarkan dari Islam karena pelakunya telah meyakini adanya pengatur alam semesta selain Allah Ta’ala.
2. Apabila ia meyakini bahwa suatu mitos kesialan sebagai sebab yang berdampak negatif, padahal itu hanyalah mitos yang tidak ditetapkan syariat, dan tidak pula masuk akal, maka ini termasuk syirik kecil. Syirik kecil termasuk dosa besar yang dosanya lebih besar dari zina dan membunuh seorang muslim tanpa hak, dan wajib bagi seorang muslim untuk bertaubat darinya. Contohnya seorang supir setelah menabrak kucing hingga mati, kemudian supir tersebut mengalami kecelakaan. Seseorang meyakini kecelakaan tersebut dapat terjadi karena takdir Allah, namun juga meyakini karena pengaruh supir menabrak kucing hingga mati. Maka ini termasuk syirik kecil (lihat Qaulul Mufid).
Dampak negatif mitos sial
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seorang yang percaya dengan mitos kesialan, hatinya akan terasa capek dan dadanya terasa sempit. Ia akan senantiasa berkhayal bahwa apa yang ia lihat dan ia dengar adalah penyebab sial. Ia menjadi manusia yang paling pengecut, paling sempit dadanya, dan paling sedih hatinya. Betapa banyak rasa waswasnya atas bahaya yang akan terjadi dan ia akan sering membatalkan suatu urusan karena percaya mitos kesialan itu, hingga berakibat terhalang baginya berbagai peluang rizki dan berbagai macam kebaikan.” (Miftah Daar As Sa’adah).
Agar terhindar dari mitos sial
Berikut ini beberapa tips agar kita terhindar dari mempercayai anggapan sial.
1. Bertawakkal kepada Allah Ta’ala. Ibn Rajab rahimahullah berkata, ”Tawakkal ialah bergantungnya hati dengan jujur pada Allah Ta’ala, dalam memperoleh kemanfaatan maupun terhindar dari kemadharatan, dalam seluruh perkara, baik perkara dunia maupun akhirat”.
Tawakkal amatlah penting bagi seorang mukmin, karena itulah bukti keimanannya pada Alllah Ta’ala. Allah berfirman (yang artinya), “Dan kepada Allah hendaknya engkau bertawakkal, bila kalian memang orang-orang yang beriman” (Q.S. Al Maidah : 23).
Seorang yang bertawakkal tidak akan terpengaruh dengan mitos sial yang menimpanya. Ia akan menggantungkan hatinya pada Allah Ta’ala yang Maha Berkuasa dan Berkehendak atas segala sesuatunya.
2. Tidak mempedulikan bila melihat sesuatu yang dianggap membawa sial. Al Munawi berkata, “Barangsiapa yang mendapati suatu yang dianggap membawa sial, hendaklah ia memohon kebaikan pada Allah, berlindung kepada Allah dari keburukan, dan tetap melanjutkan urusan seraya bertawakkal pada-Nya” (Faidhul Qadir). Seseorang telah dianggap terjatuh dalam perbuatan thiyarah apabila ia membatalkan urusan setelah melihat kejadian yang dianggap membawa sial. Maka apabila menjumpainya, jangan batalkan urusannya, namun tetap lanjutkan hingga selesai.
3. Menunaikan kaffarah thiyarah. Apabila telanjur seseorang membatalkan urusan setelah melihat suatu yang dianggap membawa sial, hendaklah ia menunaikan kaffarah (tebusan). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang thiyarah menghalangi keperluannya maka ia telah berbuat syirik.” Para shahabat bertanya, “Lalu apakah kaffarahnya (penggantinya)?”. Beliau menjawab, “Hendaklah ia berdoa, ‘Allahumma laa khaira illa khairuka, wa laa thiyara illaa thiyaruka, wa laa ilaaha ghairuka’ (Ya Allah, tiada kebaikan selain kebaikanMu, tiada kesialan selain dari ketetapanMu, dan tiada sesembahan yang berhak selain-Mu)’.” (H.R Ahmad, Ibn Sunniy, dan At Thabrani, sahih).
4. Anjuran ber-tafa`ul, sebagai ganti dari tathayyur. Berbeda dengan tathayyur, tafa`ul ialah beranggapan untung setelah menjumpai sesuatu. Misalnya dalam suatu perjalanan di bus, berkenalan dengan seorang penumpang yang bernama Slamet, maka ia berprasangka baik pada Allah bahwa perjalanannya semoga akan diberi keselamatan sampai tujuan (Mutiara Faidah Kitab Tauhid, Ustaz Abu Isa). Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada thiyarah, dan al fa`lu adalah yang terbaik”. Para shahabat bertanya, “Apakah itu fa`l?”. Rasulullah menjawab, “Yaitu kalimat baik yang didengar salah seorang di antara kalian.” (H.R Bukhari dan Muslim).
Keterangan ulama Madzhab Syafi’i mengenai tathayyur
Ibnu Hajar Al Haitsami As Syafi’i dalam Fatawa Al Haditsiyah berkata, “Barangsiapa yang bertanya tentang hari sial dan sesudahnya maka tidak perlu dijawab, melainkan dengan berpaling, menganggap bodoh tindakannya dan menjelaskan keburukannya. Dan menjelaskan bahwa semua itu merupakan kebiasaan orang Yahudi, bukan petunjuk bagi orang Islam yang bertawakal kepada penciptanya yang tidak pernah menggunakan hisab (perhitungan hari baik dan buruk). Sedangkan keterangan menegenai hari-hari sial dan semacamnya yang dinukil dari Ali radhiyallahu ‘anhu adalah batil dan merupakan suatu kebohongan yang tidak memiliki dasar. Karena itu berhati-hatilah kalian dari hal-hal tersebut.” (fatwa ini dapat dilihat dalam Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-3 di Surabaya pada tanggal 12 Rabiuts Tsani 1347 H / 28 September 1928 M).
Semoga Allah memberikan kita taufiq dan hidayah dalam mentauhidkan-Nya.
Penulis : Yhouga Pratama, S.T. (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ustadz Abu Salman, B.I.S.